Seloko adat Jambi menyebutkan “Adat Selingkung Negeri, Undang Selingkung
Alam” artinya dalam kehidupan masyarakat Jambi tentunya berada dalam
kerangka atau koridor hukum adat (Adat Selingkung Negeri) dan hukum
positif (Undang Selingkung Alam).
Masyarakat adat Jambi mengakui adanya tingkatan hukum yang lebih tinggi yang berlaku disamping hukum adat. Dari seloko
tersebut tersirat, bahwa segala permasalahan yang ada terlebih dahulu diselesaikan secara adat, dan jika tidak bisa
diselesaikan
secara adat baru mengacu kepada hukum yang lebih tinggi (Undang
Selingkung Alam). Masyarakat Jambi adalah masyarakat yang relijius,
sehingga hukum adat Jambi senantiasa berpedoman pada ketentuan agama
yang tergambar dalam seloko “Adat bersendikan syara’, syara’ bersendikan
Kitabullah”.
Hukum adat Jambi mempunyai tingkatan-tingkatan
dalam pengambilan keputusan, Seloko adat Jambi menyebutkan “Bejenjang
naik betanggo turun, turun dari takak nan diatas, naik dari takak nan di
bawah” dan dalam mengambil keputusan pun tidak sembarangan harus
mengacu kepada kata mufakat karena adat Jambi adalah “Adat nan
Berlembago” Pepatah adat mengatakan “Bulat aek dek pembuluh, bulat kato
dek mufakat”. Dalam mufakat ada ketentuan-ketentuan yang harus
diperhatikan sampai menemukan kata putus menurut adat, ketentuan
tersebut salah satunya dengan melihat akar dari suatu permasalahan,
Seloko adat Jambi
menyebutkan “Dak ado asap kalo dak ado api, Kalo aek keruh dimuaro cubo tengok ke hulu”. Dalam adat Jambi juga dikenal
istilah azas pembuktian “ Jiko tepijak benang arang hitam tapak, jiko tersuruk di gunung kapur putih tengkuk” sehingga dalam
pembuktian ini bisa dibuktikan yang salah tetap salah dan yang benar tetap benar “yang melintang patah, yang membujur lalu”.
Sumber : http://wahana-budaya-indonesia.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar