Suasana
makin mencekam, pada 12 Mei 1998, akibat terjadinya penembakan mahasiswa di
kampus Universitas Trisakti, yang kemudian dikenal sebagai Tragedi Trisakti.
Empat orang mahasiswa gugur. Mahasiswa makin ‘marah’. Hampir di seluruh kampus
terjadi demonstrasi. Bahkan sebagian mulai keluar dari kampusnya. Bersamaan
dengan itu, terjadi pembakaran mobil di sekitar parkir dekat Universitas
Trisakti.
Bahkan, 13 Mei 1998, mahasiswa seperti dipancing untuk keluar dari kampusnya.
Situasi di Universitas Katolik Atmajaya Jakarta justeru mengundang tanda tanya.
Ada sekelompok demonstran yang melempari mahasiswa dalam kampus itu karena
mereka tidak keluar dari kampusnya. Para mahasiswa tetap berada dalam kampus dalam
suasana berkabung.
Besoknya, 14 Mei 1998, terjadilah malapetaka di Jakarta. Warga keturunan Cina
menjadi sasaran. Pertokoan dan pusat-pusat perbelanjaan dibakar. Saat itu,
Jakarta seperti tak punya petugas keamanan. Sementara para petinggi ABRI berada
di Malang. Di lapangan sangat terasa ada provokator yang menggerakkan. Di
beberapa tempat, ada teriakan: “Mahasiswa datang… mahasiawa datang!”
Dalam kondisi chaos itu, rupanya mahasiswa sangat jeli. Tampaknya, mereka
menghindari dijadikan kambinghitam. Karena hari itu, dan besoknya, tidak ada
demonstrasi mahasiswa yang keluar dari kampusnya. Bahkan ada beberapa mahasiswa
yang sebelumnya tidak biasa ikut demonstrasi, memilih tidak pulang dari kampus
daripada terjebak di jalan yang penuh kerumunan.
Situasi ini memaksa HM Soeharto pulang lebih cepat dari jadual dari Mesir.
Sebelum pulang, beredar isu bahwa ia akan dihadang oleh mahasiswa. Tapi
Soeharto tetap pulang, tanpa terjadi penghadangan seperti diperkirakan
sebelumnya. Sebelum pulang, di hadapan warga Indonesia di Mesir, ia menyatakan
bersedia mundur jika rakyat menghendakinya. Saat itu, ia menegaskan tidak akan
menggunakan kekuatan bersenjata melawan mahasiswa dan kehendak rakyat.
Setiba di Jakarta, HM Soeharto kemudian mengundang beberapa tokoh masyarakat,
di antaranya Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid, tanpa Amien Rais dan Adi
Sasono, untuk membicarakan pembentukan Komite Reformasi. Ia juga berencana
merombak kabinetnya menjadi Kabinet Reformasi. Ia menawarkan reformasi secara
gradual untuk mencegah terjadinya keguncangan.
Ia juga menerima rombongan rektor Universitas Indonesia. Mereka ini datang
untuk meminta Presiden Soeharto berhenti dengan hormat. HM Soeharto
mempersilahkan mereka menyampaikan aspirasi itu melalui MPR. Demonstrasi
mahasiswa pun akhirnya terpusat ke gedung MPR/DPR. Mereka menduduki gedung
legislatif itu.
Harmoko, yang menjabat Ketua MPR dan pimpinan MPR lainnya menampung desakan
mahasiswa yang meminta Pak Harto turun. Di hadapan para mahasiswa itu, Harmoko
menyatakan bahwa pimpinan MPR setuju dengan desakan mahasiswa untuk meminta Pak
Harto mundur. Harmoko seperti tak terpengaruh atas pernyataannya saat meminta
kesediaan Pak Harto untuk dicalonkan kembali menjadi presiden jauh hari sebelum
SU MPR.
Pernyataan Harmoko ini kemudian dijelaskan (dibantah) Pangab Jenderal Wiranto
sebagai bukan pernyataan institusi tapi lebih merupakan pernyataan pribadi.
HM Soeharto tentu dengan cermat terus mengikuti perkembangan itu. Sampai sore
tanggal 20 Mei 1998, tampaknya ia masih yakin akan bisa mengatasi keadaan
secara damai dengan membentuk Komite Reformasi dan merombak kabinet menjadi
Kabinet Reformasi. Tapi keinginan baik Pak Harto ini disambut dingin berbagai
kalangan bahkan tragisnya ditolak sebagian pembantunya (menteri) yang dibesarkannya.
Rupanya inilah detik-detik terakhir ia menjabat presiden. Hari itu, Rabu 20 Mei
1998 sekitar pukul 19:30, Pak Harto menerima Mantan Wakil Presiden Sudharmono
di kediaman Jalan Cendana 8 Jakarta. Saat itu, menurut Sudharmono, Presiden
Soeharto menyatakan tetap akan melaksanakan tugas-tugas kepresidenan dan segera
akan mengumumkan pembentukan Komite Reformasi serta mengadakan perubahan
susunan Kabinet Pembangunan VII.
Sekitar setengah jam berikutnya, pukul 20.00, Wakil Presiden B.J. Habibie
menghadap Pak Harto. Lalu sekitar pukul 20:30, Saadillah Mursyid diminta
menemui Presiden Soeharto yang sedang bersama Wakil Presiden B.J. Habibie di
ruang tamu kediaman Jalan Cendana 8 itu. Di hadapan Wakil Presiden BJ Habibie,
Presiden Soeharto meminta Saadillah Mursyid, Menteri Sekretaris Negara,
mempersiapkan naskah final: Keputusan Presiden tentang Komite Reformasi dan
Keputusan Presiden tentang Pembentukan Kabinet Reformasi.
Saat itu, Presiden Soeharto menyatakan akan mengumumkan dan melaksanakan
pelantikannya besok hari, Kamis 21 Mei 1998. Untuk keperluan itu Presiden
Soeharto juga minta agar ruang upacara atau yang lazim disebut ruang kredensial
di Istana Merdeka dipersiapkan.
Kemudian Wakil Presiden B.J Habibie pulang. Sementara itu, sebanyak empat belas
orang menteri membuat pernyataan tidak bersedia ikut serta dalam Kabinet
Reformasi yang direncanakan Pak Harto. Mereka itu adalah para menteri yang
sebelumnya dibesarkan Pak Harto.
Lalu, sekitar pukul 21:00, setelah BJ Habibie pulang itu, Saadillah Mursyid
mohon untuk bisa melanjutkan bertemu dengan Pak Harto. Dalam kesempatan itu,
Saadillah Mursyid melaporkan bahwa sejumlah orang-orang yang direncanakan untuk
menjadi anggota Komite Reformasi telah menyatakan menolak. Saadillah juga
melaporkan adanya informasi bahwa empat belas orang menteri yang direncanakan
akan duduk dalam Kabinet Reformasi menyatakan tidak bersedia ikut serta dalam
Kabinet. Setelah itu, Saadillah pulang.
Tapi sekitar pukul 21:40, Saadillah Mursyid diminta menemui Presiden Soeharto
lagi. Saadillah bergegas menuju ruangan di tempat biasanya Presiden menerima
tamu, termasuk menerima para menteri. Saadillah terkejut karena Presiden tidak
ada di ruangan itu. Ketika ditanyakan, barulah ajudan memberitahukan bahwa
Presiden Soeharto menunggu di ruang kerja pada bagian kediaman pribadi.
Sekitar pukul 22:15 hari Rabu 20 Mei 1998 itu, HM Soeharto mempersilakan
Saadillah duduk di sebelahnya. Kursi hanya ada satu, di situ HM Soeharto duduk.
Lalu Saadillah dipersilahkan menggeser puff, sebuah tempat duduk empat persegi,
agar bisa lebih dekat.
Setelah hening sejenak, kemudian HM Soeharto mengatakan: “Segala usaha untuk
menyelamatkan bangsa dan negara telah kita lakukan. Tetapi Tuhan rupanya
berkehendak lain. Bentrokan antara mahasiswa dan ABRI tidak boleh sampai
terjadi. Saya tidak mau terjadi pertumpahan darah. Oleh karena itu, saya
memutuskan untuk berhenti sebagai Presiden, menurut Pasal 8 Undang-Undang Dasar
1945.“
Lalu, kepada Saadillah sebagai Menteri Sekretaris Negara, diminta untuk
mempersiapkan empat hal. Pertama, konsep ‘Pernyataan Berhenti dari jabatan
Presiden RI’; Kedua, memberitahu pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bahwa
permintaan pimpinan DPR untuk bertemu dan melakukan konsultasi dengan Presiden
akan dilaksanakan hari Kamis, 21 Mei 1998 pukul 09:00 di ruang Jepara Istana
Merdeka; Ketiga, memberitahu Wakil Presiden BJ Habibie agar hadir di Istana
Merdeka hari Kamis tanggal 21 Mei 1998 pukul 09:00 dan agar siap untuk
mengucapkan Sumpah Jabatan Presiden di hadapan Ketua Mahkamah Agung; Keempat,
memohon kehadiran Ketua Mahkamah Agung di Istana Merdeka hari Kamis 21 Mei 1998
pukul 09:00.
Saadillah pun segera memberitahu Pimpinan DPR, Wakil Presiden dan Ketua
Mahkamah Agung melalui telepon. Malam sudah larut menjelang tengah malam. Lalu,
bersama-sama staf, Saadillah segera mulai melakukan penyusunan naskah
Pernyataan Berhenti Presiden. Setelah mendapatkan pokok-pokok dan arahan,
Bambang Kesowo, waktu itu Wakil Sekretaris Kabinet, dan Soenarto Soedharmo,
ketika itu Asisten Khusus Menteri Sekretaris Negara mulai menyusun konsep awal.
Sementara Yusril Ihza Mahendra, ketika itu Pembantu Asisten (Banas) Menteri
Sekretaris Negara, memberikan masukan-masukan terutama dari segi hukum tata
negara.
Naskah
diajukan melalui prosedur yang sudah baku pada Sekretariat Negara. Konsep yang
sudah diketik rapi diserahkan kepada Ajudan. Ajudan menaruh naskah itu di meja
kerja Presiden.
Dalam pidatonya itu Presiden Soeharto antara lain menyatakan: “Saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII. Namun demikian kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud, karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan Komite tersebut. Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara yang sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.”
“Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan Fraksi-Fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini, pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998.“
Selepas itu, dengan ditemani puteri sulungnya, Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut) dan Saadillah Mursyid, Pak Harto melambaikan tangan meninggalkan Istana Merdeka pulang ke kediaman di Jalan Cendana 8. Ketika sampai di kediaman, sebelum duduk di ruang keluarga, Pak Harto mengangkat kedua belah tangan sambil mengucap: “Allahu Akbar. Lepas sudah beban yang terpikul di pundakku selama berpuluh-puluh tahun.“ Kemudian, putera-puteri dan keluarga menyalaminya.
Setelah itu, Pak Harto pun menjadi bulan-bulanan caci-maki dan hujatan. Bukan hanya dari orang-orang yang sebelumnya tidak sejalan dengan Pak Harto, melainkan lebih lagi dari para menteri dan tokoh-tokoh Golkar yang selama ini tak sungkan-sungkan melakukan berbagai cara untuk bisa mendekat. Bahkan BJ Habibie yang mengaku dibesarkan HM Soeharto juga tampak tanpa fatsoen politik mengambil sikap bahwa dalam politik tidak ada persahabatan yang kekal, hanya kepentinganlah yang abadi.
Mereka tidak segan-segan memosisikan Pak Harto dan keluarga Cendana ibarat keranjang sampah. Tempat pembuangan semua yang kotor. Bahwa semua kekotoran pada era Orde Baru ditimpakan ke pundak Pak Harto dan keluarganya. Sepertinya, HM Soeharto dan keluarganya sebagai satu-satunya yang melakukan korupsi pada era itu
Dalam pidatonya itu Presiden Soeharto antara lain menyatakan: “Saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII. Namun demikian kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud, karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan Komite tersebut. Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara yang sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.”
“Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan Fraksi-Fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini, pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998.“
Selepas itu, dengan ditemani puteri sulungnya, Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut) dan Saadillah Mursyid, Pak Harto melambaikan tangan meninggalkan Istana Merdeka pulang ke kediaman di Jalan Cendana 8. Ketika sampai di kediaman, sebelum duduk di ruang keluarga, Pak Harto mengangkat kedua belah tangan sambil mengucap: “Allahu Akbar. Lepas sudah beban yang terpikul di pundakku selama berpuluh-puluh tahun.“ Kemudian, putera-puteri dan keluarga menyalaminya.
Setelah itu, Pak Harto pun menjadi bulan-bulanan caci-maki dan hujatan. Bukan hanya dari orang-orang yang sebelumnya tidak sejalan dengan Pak Harto, melainkan lebih lagi dari para menteri dan tokoh-tokoh Golkar yang selama ini tak sungkan-sungkan melakukan berbagai cara untuk bisa mendekat. Bahkan BJ Habibie yang mengaku dibesarkan HM Soeharto juga tampak tanpa fatsoen politik mengambil sikap bahwa dalam politik tidak ada persahabatan yang kekal, hanya kepentinganlah yang abadi.
Mereka tidak segan-segan memosisikan Pak Harto dan keluarga Cendana ibarat keranjang sampah. Tempat pembuangan semua yang kotor. Bahwa semua kekotoran pada era Orde Baru ditimpakan ke pundak Pak Harto dan keluarganya. Sepertinya, HM Soeharto dan keluarganya sebagai satu-satunya yang melakukan korupsi pada era itu
HM
Soeharto pun ‘diasingkan’ dari Golkar yang dibesarkannya. Elit-elit Golkar
malah yang duluan teriak agar Soeharto ditahan karena kejahatan-kejahatan yang
dituduhkan kepadanya selama memerintah. Golkar yang sebelumnya lebih didonimasi
pengaruh ABRI tampak bergeser lebih didominasi elit-elit ICMI (Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia).
Suatu tragedi tendensius konstitusi, yang kental diwarnai subjektivitas politik pun terjadi. Pada Sidang Istimewa MPR 13 November 1998 – MPR yang masih didominasi kekuatan Golkar hasil Pemilu 1997 – menetapkan Ketetapan MPR No.XI/MPR/1998. Pasal 4 ketetapan MPR itu berbunyi: “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/ konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tidak bersalah dan hak-hak asasi manusia.”
Suatu tragedi tendensius konstitusi, yang kental diwarnai subjektivitas politik pun terjadi. Pada Sidang Istimewa MPR 13 November 1998 – MPR yang masih didominasi kekuatan Golkar hasil Pemilu 1997 – menetapkan Ketetapan MPR No.XI/MPR/1998. Pasal 4 ketetapan MPR itu berbunyi: “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/ konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tidak bersalah dan hak-hak asasi manusia.”
Penyebutan
nama orang secara eksplisit – mantan Presiden Soeharto – dalam pasal ini tampak
tendensius, absurd dan sangat diwarnai sifat subjektivitas politik serta di
luar kelaziman sistem ketatanegaraan Indonesia . Bukankah sebaiknya
format suatu Tap MPR merupakan garis-garis umum dari suatu kebijakan negara?
Jadinya, pasal ini seperti hendak diposisikan hanya berlaku kepada mantan
Presiden Soeharto, tetapi tidak berlaku bagi mantan presiden yang lainnya.
Tampaknya, itulah puncak pengkhianatan beberapa mantan menteri dan elit Golkar yang dibesarkannya. Kendati Pak Harto tidak pernah mengatakan secara eksplisit bahwa mereka ini mengkhianatinya. Tapi sikapnya yang sampai hari ini belum bersedia menerima kunjungan BJ Habibie dan beberapa mantan menteri dan elit Golkar lainnya bisa dipahami berbagai pihak sebagai indikasi ke arah itu.
Tampaknya, itulah puncak pengkhianatan beberapa mantan menteri dan elit Golkar yang dibesarkannya. Kendati Pak Harto tidak pernah mengatakan secara eksplisit bahwa mereka ini mengkhianatinya. Tapi sikapnya yang sampai hari ini belum bersedia menerima kunjungan BJ Habibie dan beberapa mantan menteri dan elit Golkar lainnya bisa dipahami berbagai pihak sebagai indikasi ke arah itu.
Pak Harto pun menunjukkan ketabahan dan keteguhannya. Ia pun
akhirnya sempat diadili dengan tuduhan korupsi, penyalahgunaan dana yayasan-yayasan
yang didirikannya. Ia menyatakan bersedia mempertanggungjawabkan dana yayasan
itu. Tapi, ia pun jatuh sakit yang menyebabkan proses peradilannya dihentikan.
kini beliau sudah kembali kepada sang pencipta, semoga segala amal dan ibadah beliau semasa hidup diterima dan ditempatkan di tempat yang terbaik disisi Allah SWT. tidak ada manusia yang sempurna, tapi jasa-jasa beliau tetap harus diingat oleh segenap bangsa indonesia. mungkin segala carut marut yang terjadi setelah reformasi adalah teguran bagi bangsa indonesia, agar kita jangan seperti pepatah yang mengatakan "Habis Manis sepah dibuang".
sumber : google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar